RANGKUMAN BUKU KONVERGENSI MEDIA


Nama    : Mochammad Ikhwand Saputra
Nim      : 1871502215
Dosen   : Dr. Dudi Iskandar, S.Ag., M.I.Kom
Mata Kuliah        : Teori Komunikasi

 


Penulis                : Dudi Iskandar
Tahun Terbit       : 2018
Judul Buku         : KONVERGENSI MEDIA
Kota Terbit         : Jakarta
Penertbit             : Penerbit ANDI
Tebal Halaman   : XVII + 333 Halaman



BAB I KONVERGENSI MEDIA
                Media massa mengalami beberapa tahap perubahan, transformasi, dan bahkan bermetamorfosis. Roger Fidler menyebut fase berbagai perkembangan media dengan nama mediamorfosis. Mediamorfosis memiliki tiga konsep, yaitu: koevolusi, konvergensi,dan kompleksitas. Ia mendefinisikan mediamorfosis sebagai transformasi media komunikasi yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi. Pekembangan media massa  bermula dari mesin cetak yang menghasilkan surat kabar dan buku. Teknik fotografi yang menghasilkan film. Teknologi gelombang elektromagnetik yang melahirkan radio dan televise. Terakhir, teknologi berbasis internet yang kemudian mempopulerkan istilah media baru (new media). Internet memicu dua perubahan mendasar dalam lingkungan media massa. Pertama, perubahan proses jurnalistik, termasuk digitalisasi. Kedua, perubahan bentuk dan format organisasi media. Makannya tidak heran bila sekarang hampir semua media cetak dan elektronik menyertainya dengan bentuk berita online, e-paper, dan live streaming.
                Word Association of Newspapers (WAN) menemukan enam efek internet terhadap jurnalisme. (1) peningkatan jurnalisme partisipatif. (2) munculnya riset audiensi tentang pola penggunaan media. (3) penyebaran beritayang dibuat sendiri secara online dan perangkat telepon seluler. (4) penataan kembali newsroom yang lebih fokus kepada audiensi. (5) pengembangan tetang narasi/storytelling  yang disesuaikan dengan audiensi dan saluran baru. (6) pertembungan audiensi yang fokus pada penyesuaian berita dan juga penyesuaian berita pada multimedia.perubahan mendasar pada jurnalisme media lantas memunculkan terminologi mengenaskan bernama krisis jurnalisme. Todd Gitlin berpendapat dalam kondisi seperti ini istilah “krisis” sangat tepat. Gitlin menunjukkan kondisi krisis jurnalisme ini dengan mengidentifikasi lima indikator. (i) jatuhnya sirkulasi, (ii) jatuhnya pendapatan advertising, (iii) difusi perhatian, (iv) krisis yang berwenang,, dan (v) ketidak mampuan atau keengganan jurnalisme mempertanyakan struktur kekuasaan semua berkontribusi untuk membawa krisis yang mendalam jurnalisme.
                Teoritikus konvergensi media Henry Jenkins mendefinisikan konvergensi media sebagai proses penyatuan yang terus-menerus terjadi di antara berbagai bagian media seperti teknologi, industry, konten, dan khalayak. Burnett dan Marshall mendefinisikan konvergensi sebagai penggabungan industri media, telekomunikasi, dan computer menjadi sebuag bentuk yang bersatu dan berfungsi sebagai media komunikasi dalam bentuk digital. Key Concepts in Jurnalism Studies menegeaskan konvergensi media adalah pertukaran media di antara semua media yang berbeda karakteristik dan plarform-nya.  Kovergensi media bisa dipahami sebagai sebuah integrasi atau penyatuan beberapa media konvensional dengan kemajuan teknologi informasi menjadi satu atap atau perusahaan. Konverfensi bukan hanya penyatuan konten – sebuah berita bisa muncul di berbagai media yang berada dalam  satu perusahaan- tapi juga penyatuan dalam suatu induk perusahaan media. Konvergensi juga merupakan aplikasi dari teknologi digital, yaitu integrasi teks, suara, angka dan gambar. Dailey,Demo, dan Spillman menjelaskan aktifitas konvergensi media meliputi antara lain cross-promotion (lintas promosi), cloning (penggandaan), coopetition (kolaborasi), content sharing (bebagai isi), dan  full convergence (penyatuan). Konvergensi media tidak hanya berpengaruh pada perubahan proses jurnalistik, tetapi juga menyangkut ke aspek kehidupan. Contohnya akan berdanpak pada konsumsi media masyarakat, persepsi publik, penyebaran informasi dan literasi media.
                Konglomerasi media kian hegemonik dan menemukan momentumnya seiring dengan ideologi kapitalisme masuk ke dunia jurnalisme. Menurut Yasraf Amir Piliang, ada empat unsur utama kapitalisme global, yakni, waktu, ruang, uang, dan kecepatan. Salah satu akibat konglomerasi adalah keseragaman siaran, tayangan, dan tulisan di tiga perusahaan media yang teliti. Keseragaman ini pulalah yang merampas hak publik untuk mendapatkan informasi yang beragam. Setidaknya ada tujuh kritik terhadap konglomerasi media di dunia global. (1) Terjadinya konsentrasi kepemilikan media oleh segelintir orang. (2) banyak pemilik media yang memiliki kepentingan selain media. (3) Konglomerasi media menyebabkan penguasaan informasi pada segelintir orang. (4) pemberitaan cenderung mengarah ke populisme, infotainment, dan hiburan. (5) Redefinisi audiensi sebagai konsumen bukan warga. (6) Akses yang tidak setara terhadap isi media dan teknologi media. (7) Kekuatan ekonomi politik personal yang menguasai kerajaan media.



BAB II MEDIA SEBAGAI IDEOLOG DAN AKTOR POLITIK
                Dalam teori wacana Michel Foucault, ada beberapa istilah kunci. Selain wacana, ada juga istilah episteme, kuasa, pengetahuan, arkeologi, dan genealogi. Kekuasaan versi Foucault yang menyebar melalui bahasa dari berbagai sector membentuk wacana yang dibuat oleh beragam media . inilah yang disebut representasi ideology kekuasaan dalam konvergensi media seperti dipaparkan John B. Thompson. Pada kampanye Pilpres 2014 sangan terasa pilihan politik media terhadap pasangan tertentu, hal ini akan berbenturan dengan sikap independensi media. Beberapa grup media seperti Metro TV, MNC, dan Viva memiliki keterkaitan dengan partai politik. Banyak media yang memilih dan berafiliasi dengan partai politik . inilah salah satu risiko media dikuasai pedagang dan politisi. Pergeseran pola di media ini diawali oleh perpindahan kepemilikan dari wartawan ke pengusaha atau politisi. Para pemilik yang berlatar belakang pengusaha dan politisi tidak memahami kode etik jurnalistik dan undang-undang secara mendalam. Hal yang harus dicermati adalah pergeseran penerapan kode etik jurnalistik pada anggota grup-grup media tersebut. Pergeseran ini terjadi akibat kian besarnya perusahaan media tersebut. Nuansa politik dan kepentingannya sangat kental terasa. Bahkan untuk media-media yang memiliki kepentingan politik tertentu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menghadiahkan mereka dengan julukan “musuh kebebasan pers”.
                Hampir sebagian besar media pada kampanye Pilpres 2014 larut ke isu pemilu dan pilpres. Muncul kecenderungan-kecenderungan penilaian terhadap calon tertentu. Namun demikian, yang harus digarisbawahi adalah standar kode etik jurnalistik. Kapitalisme sudah merasuk ke ranah media massa. Kapitalisme kemudian bersinggungan dengan politik sehingga menimbulkan paradoks dalam dunia jurnalisme. Kecenderungan konglomerasi media bisa menjadi masalah bagi penegakan kode etik jurnalistik. Bahkan, ada kecenderungan kompromistis antara kode etik dan kepentingan kapitalisme, terutama bagi media-media yang secara ekonomi belum mampu mandiri. ETIKA JURNALISTIK sepanjang perjalanan perubahan jurnalisme dari cetak, televise, radio, dan kini situs berita (media online) selalu menghadirkan persoalan. Salah satu persoalan mendasar adalah dilemma etika jurnalisme dan keguncangan etika yang paling dahsyat dari kehadiran situs berita yang bersifat online. Jurnalistik tradisional masih mempercayai akurasi, vertifikasi, keseimbangan, imparsialitas, dan adanya gatekeeper. Sebaliknya, jurnalisme baru berada dalam aras kecepatan, transparansi, dan parsialitas.
                Secara filosofis, jurnalisme harus tetap berpijak pada prinsip kebenaran, indpendensi, check and balance, cover all (multi) sides, vertifikasi fakta, dan keberpihakan pada yang lemah. Etika jurnalisme berfungsi untuk menjamin media memproduksi jurnalisme yang berkualitas dan publik pun mendapat informasi yang sehat dan mencerahkan. Inilah yang disampaikan dua pakar jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosentiels. “Journalism’s first obligation is to the truth”. Secara historis, Dewan Pers memotret alasan kenapa para pemilik media berkecimpung dalam politik. Beberapa alasannya adalah karena peranan media begitu besar dalam mobilisasi opini, pembentukan opini, kemudian dalam mendefinisikan mana lawan mana kawan, serta mengarahkan publik untuk memilih salah satu kandidiat. 
        Independen dan netral adalah dua istilah yang berbeda. Independen itu artinya dalam upaya media ataupun jurnalis untuk melakukan liputan dan melaporkan fakta-fakta kepada publik dilakukan secara jujur. Dia tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar jurnalistik. Sementara itu, pengertian netral adalah berhubungan dengan sikap. Media memang bisa mempunyai sikap. Hal tersebut tidak boleh ditunjukkan ketika melaporkan fakta. Sikap ditunjukkan ketika media membuat tajuk rencana, editorial, dan sebagainya. Dalam konteks jurnalisme modern konglomerasi adalah sebuah realitas yang tidak bisa dihindari lagi. Konglomerasi ini kerap dijustifikasi sebagai salah satu elemen yang melemahkan etika jurnalistik. Jadi, inti dari konglomerasi adalah terancamnya keberagaman isi. Ancaman itu akan menjadi kenyataan kalau pemiliknya melakukan intervensi; memaksakan pandangan politiknya,  like and dislike dengan agenda setting yang dimilikinya. Dari sudut produksi, media bukanlah satu-satunya penyedia informasi. Ia bukan lagi poros untuk memberi tahu masyarakat seperti masa-masa silam. Kini wartawan dan publik berebut untuk memberi tahu kepada orang yang belum mengetahui pembaca, pendengar, atau khalayak.  
BAB III POST-JOURNALISM
     Perkembangan jurnalisme kontemporer sangat mengerikan karena jurnalisme berubah terus. Jurnalisme ditantang oleh teknologi komunikasi yang lebih baru yang menyebabkan jurnalisme harus menyesuaikan dirinya. Kebenaran harus disampaikan; laporan komiymen terhadap fakta. Inilah yang belum berubah. Karena kalau komitmen jurnalisme tehadap laporan fakta pudar, berarti jurnalisme mati; jurnalisme selesai.
       Realitas jurnalisme ketika kampanye Pilpres 2014 yang menjadi objek penelitian menunjukkan bahwa ragam terhadap fakta sudah menjadi sesuatu yang biasa. Perbedaan sudut pandang terhadap realitas, pengambilan sudut berita yang berlainan dan perbedaan pemaham terhadap kode etik jurnalistik menjadi ssesuatu yang lumrah. Model keberagaman dalam jurnalistik inilah bisa dipotret sebagai cikal bakal fenomena psot-journalism. Istilah ini berangkat dan berakar dari post-truth. Kamus Oxford mendefinisikan post-truth sebagai kondisi ketika fakta- dalam jurnalistik- tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Artinya, fakta atau peristiwa dalam sebuah berita hanya sebagai cikal bakal semata, tetapi yang membentuk persepsi dan pengaruh ke publik adalah adukan emos, rasa sentiment, dan keyakinan pribadi.
                Bagaimana seseorang harus menyampaikan bahwa tidak berpihak, sementara dia mengatakan berpihak. Sebuah televise atau siapa saja boleh mengatakan  bahwa tidak berada si satu pihak. Karena realitas sudah begitu kompleks, maka apakah betul ini adalah era post-journalism. Inilah era bahwa fakta tidak begitu penting lagi, tetapi yang penting sentiment yang dibangunnya. Dari fakta ke sentiment. Dari objektif ke subjektif, jadim yang dibutuhkan adalah efek subjektif. Kamus Oxford melanjutkan berdasarkan keterangan editornya, jumlah penggunaan istilah tersebut di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan 2015. Bahkan pada 2016, post-truth menjadi “Word of the Year” tahun 2016. Pemicu terbesar pemakaian istilah post-truth adalah pada dua peristiwa politik, yaitu keluarga Inggris Raya Uni Eropa atau dikenal dengan istilah Brexit dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat mengalahkan Hillary Clinton yang lebih dijagokan oleh media.
                Fenomena post-truth sangat menggila di media sosial. Twitter, misalnya, adalah media sosial paling mudah menyampaikan keriuhan yang menjadi ciri khas post-truth ini. Di dunia jurnalisme berita hoax adalah salah satu indikasi post-truth. Hal ini menunjukkan kegamangan jurnalisme dalam menanggapi realitas politik yang penuh dengan kebohongan dan tipu daya. Dalam post-journalism tidak ada standar etika dan moralitas yang bisa dipegang. Realitas jurnalisme ini disebut Agus Subidyo dengan Nihilisme Moralitas Bermedia. Masyarakat Kesulitan untuk membedakan antara berita dan hoax; informasi palsu dan keterangan alsi; gossip dianggap berita. Sebaliknya, berita dipandang sebagai gosip. Jurnalisme terjebak dalam kontestasi dengan media sosial, khususnya dalam proses penyebaran informasi. Padahal ranah kedua bidang itu berbeda, demikian kecepatan adalah wilayah media sosial bukan wilayah jurnalisme.

Tabel 4.1 Perbedaan Media Sosial dan Jurnalisme
No.
Aspek
Jurnalisme
Media Sosial
1.
Orientasi
Ketepatan
Kecepatan
2.
Metode
Verifikasi
Histeria
3.
Tujuan
Kebenaran
Kemenangan
4.
Sosial
Pertanggungjawaban
Hit and Run
5.
Ekonomi
Membayar Pajak
Penghasilan Individual
6.
Nilai
Etika dan Moralitas
Fake dan Hoax
               
                Kini  Indonesia berada di Post-journalism. Pertarungan sarkatis, vulgar, dan tuma etika di bidang media bukan tidak mungkin terjadi pada pilpres 2019, bahkan dengan lebih dahsyat lagi. Sesungguhnya Pilpres 2019 adalah babak kedua dari Pilpres 2014.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesalahan Dalam Penulisan Berita Online

Tugas Rencana Liputan Bahasa Jurnalistik